PERDAMAIAN UNTUK PEDALAMAN

 




                        

Natal vrido lumbangaol




 

Satu malam yang basah, dingin dan sepi, sekelompok pemuda berjalan menyusuri jalanan tanah yang becek dan licin. Pemuda-pemuda itu terdiri dari Alex, Rony, Sandra dan Nadia. Mereka berempat masing-masing membawa senter untuk penerangan dan tas punggung berisi peralatan untuk hiking. Mereka tidak berniat untuk hiking sebenarnya, karena mereka sedang mencari sesuatu di sebuah bangunan tua yang bobrok dan tidak terurus di pedalaman hutan Papua.

 


“Al, kamu yakin di sini tempatnya?” tanya Sandra, yang merupakan saudara kembar Alex.

“Oh ayolah, San, kita kan udah ngerencanain ini semua!” jawab Alex kesal, yang sedari tadi, Sandra terus mengajaknya berbicara.

“Sudahlah Sandra, kembaran lo tahu apa yang dia lakuin. Tenang aja.” kata Nadia mencoba menenangkan Sandra.

“Ini gelap banget, Nadia! Jujur aja, gue takut banget ikut-ikutan ginian.” kata Sandra, seraya memegang tas punggung Alex.

“Udah-udah! Kan ada gue. Ngapain takut sih?” kata Rony enteng.

“Berisik kalian semua!” kata Alex setengah berbisik, setengah teriak, “Kalian semua mau dapet masalah?!”

 

Mereka pun langsung terdiam. Sandra yang sedari tadi ketakutan, memegangi tas Alex dengan sangat kuat, dan membuat punggung Alex terasa berat dua kali lipat. Nadia memegang erat tangan Sandra, agar Sandra tidak terlalu takut. Rony berada di paling belakang rombongan, mengawasi pergerakan yang mengancam mereka dan sesekali menggerakkan senternya untuk menyorot ke bagian yang mencurigakan.

“Kita sampai.” kata Alex berbisik.

“Tempat yang aneh untuk bangunan di pedalaman hutan.” kata Rony dari belakang, dengan nada heran. Mereka sampai di sebuah bangunan tua bobrok itu. Bangunan yang tampak seperti rumah khas Kolonial Belanda, namun entah kenapa, ini berada di dalam hutan rimba.Rasa penasaran pun mengisi kepala Alex. Pertanyaan pun banyak tertera di benak Alex. Apa yang ada di sini? Pikir Alex.

“Okey, Al. Sekarang gimana?” tanya Rony.

“Um, Ron, lo ke sini.” kata Alex.

“Al, lihat ini!” kata Nadia, menunjuk sebuah bendera “Bintang Kejora” yang ada di sudut bangunan.

“Bukannya itu bendera OPM?” kata Sandra.

“Temen-temen, kayaknya kita salah masuk.” kata Rony setengah ketakutan.

 

“Al, aku takut beneran!” kata Sandra gemetaran karena takut.

“Tenang semuanya! Kita nggak akan celaka atau apa, asal kita bareng-bareng.” kata Alex mencoba menenangkan teman-temannya.

“Peralatan kita nggak siap buat situasi ini, Al! Kita bakalan mati ditembak OPM!” kata Nadia agak panik, “Lo tahu sendiri kan mereka kayak gimana?”

“terus kita harus gimana sekarang?” tanya Alex, “Kita udah sejauh ini kan?”

“Kita emang udah jauh, Al. Tapi kita deket sama kematian!” kata Rony.

 

Rony benar, batin Alex. Namun Alex masih penasaran dengan apa yang ada di dalam bangunan tua itu. Alex ingin menemukan sebuah bukti bahwa ada campur tangan asing di dalam gerakan separatis Operasi Papua Merdeka. Karena semua teman-temannya ketakutan, Alex pun memutuskan kembali ke perkampungan suku Asmat untuk beristirahat dan menyusun rencana yang kuat untuk mendapatkan bukti-bukti itu.

 

Keesokan harinya, mereka berempat kembali ke tempat di mana bangunan tua itu berdiri. Kali ini mereka diberi Pisau Belati khas Suku Asmat yang terbuat dari tulang Burung Kasuari dengan hulu belatinya yang berbulu Burung Kasuari juga. Masing-masing mendapat Belatinya, yang sudah diberi mantra oleh seorang dukun di perkampungan, kecuali Rony. Rony memilih menggunakan panah sebagai senjatanya, karena dia atlet muda Panahan. Panahnya terdiri dari Rotan sebagai tali busur, kayu bambu untuk panahnya dan tulang Kanguru sebagai ujung anak panahnya.

 

“Gue harap, anak panahnya cukup.” kata Rony menunjuk kumpulan anak panah yang berada di punggungnya dan terdiri dari dua puluh buah.

“Gue harap lo nggak pake itu panah.” kata Alex, “Nggak ada ancaman lebih baik.”

“Alex bener. Aku nggak terlalu mahir mainin pisau ini.” kata Sandra seraya memegan pisau belatinya, “Aku biasa megang pisau dapur.”

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak berlumpur dan licin. Mereka tidak mengeluarkan senter, karena mereka berangkat sore hari dan itu hari yang cerah.

 

“Al, aku takut.” kata Sandra berbisik.

“Ya ampun, Sandra. Kenapa kamu ikut kita sih?!” tanya Alex gusar.

“Aku sendirian di Perkampungan. Lagian, aku nggak ngerti bahasa mereka.” kata Sandra menderita.

“kalau gitu jangan takut. Kita berempat, oke!” kata Alex.

“Ya Allah, bisa nggak sih ini anak kembar akur sehari aja!” kata Nadia mulai kesal dengan pertengkaran Alex dan Sandra.

“Sandra, gue ada di belakang lo. Gue jagain lo kok.” kata Rony.

 

“Sorry, Nadia. Ade gue emang nyebelin. Dan Rony, lo jangan coba-coba ngerayu ade gue di depan gue ya!” kata Alex.

“Ya ampun, Alex! Kenapa lo sewot sih?” kata Rony agak marah. “Lagian gue cuma nggak mau Sandra ketakutan.”

“Udah-udah, kenapa pada berantem sih?” tanya Nadia, “Alex, lo tahu kenapa kita ada di sini?”

“Sorry, Nadia.” kata Alex seraya menghela napas dan menurunkan emosinya, “Ayo lanjut. Sandra, pegang tangan aku sama Nadia.”

“Sorry, Al. Aku terlalu kekanak-kanakkan.” kata Sandra.

“Iya udah-udah. Rony, lihat di belakang. Siapin panah lo.” kata Alex.Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka menuju bangunan tua. Sesekali, Rony menarik Busur Panah ke arah semak yang bergerak, yang ternyata adalah Babi Hutan, dan Alex pun sesekali mengangkat Belatinya ke arah yang mencurigakan. Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di bangunan tua itu. Alex melihat ke sekeliling bangunan itu. Bendera Bintang Kejora itu masih terpasang di sudut bangunan, namun terlihat usang. Cerahnya cuaca mempertegas keusangan bangunan ini. Tembok yang penuh dengan lumpur dan dedaunan, cat putih yang mengelupas, dinding yang retak dan lantai kayu yang lapuk karena rayap. Mereka berjalan perlahan, untuk menghindari jebolnya lantai kayu itu. Sandra gemetar ketakutan dan memegang sangat erat tangan Alex dan Nadia hingga tangan mereka kebas.

 

“Kosong.” kata Alex seraya menempelkan telinganya ke pintu.

“lo yakin?” tanya Rony seraya memandang ke arah sisi bangunan.

“Ya kosong kelihatannya.” kata Alex menyipitkan mata dan menangkupkan tangan di dahinya ke jendela gelap di sisi kanan pintu.

“Ya udah masuk aja.” kata Rony.

“Ih aku takut.” kata Sandra lemah.

“Ada gue sama Alex.” kata Rony, “Tenang aja, lo sama Nadia aman.”

“Nggak tahu kenapa, gue jadi ikutan takut.” kata Nadia tiba-tiba.

“Astaga, lo kenapa ikutan takut sih, Nad?” tanya Rony. “lo kan tadi baik-baik aja!”

“Ssstttt! Ada yang datang!” kata Alex setengah teriak setengah berbisik.

 

Dari belakang bangunan, dua orang muncul dengan senapan. Satu orang tampak seperti orang lokal, namun yang satu lagi terlihat seperti orang asing. Orang itu berkulit putih dan berambut pirang dan juga memakai seragam tentara dengan bordiran bendera Australia di bahu kanannya.

“Untuk apa orang Bule ada di sini?” bisik Rony.

“Dugaan gue bener, Ron. Orang asing ada di dalem OPM!” Alex balas berbisik.

“Dia tentara Australia!” kata Sandra yang mengintip di bahu kembarannya.

“Sssttt! Jangan berisik!” kata Alex seraya menempelkan telunjuknya di bibir menyuruh Sandra diam. Dua orang bersenjata itu mendengar Sandra.

 

“Hey, who’s there?!” teriak si Bule.

“Siapa itu!” teriak orang lokal sambil mengangkat senapan AK-47-nya.

“Tuh kan ketahuan!” kata Alex panik.

Mereka masuk ke dalam bangunan itu secara perlahan. Sandra dan Nadia gemetar ketakutan. Rony menarik busur panahnya hingga menegang, bersiap melepaskan anak panah itu ke orang-orang OPM.

 

“Ron, tahan dulu!” bisik Alex.

“Gue cuma siaga, Al.” balas Rony, “lo juga siap! Gue yakin, bukan mereka berdua aja.”

“lo bener.” kata Alex, “Lihat sekeliling kalian! Kita akan cari bukti, kalau Australia terlibat dalam OPM.”

 

Mereka melihat ke sekeliling ruangan yang ternyata terlihat baik-baik saja. Tampaknya eksterior bangunan ini hanya kamuflase saja untuk orang-orang yang melintas. Di aula depan, terlihat sebuah bendera Bintang Kejora berukuran besar hampir memenuhi langit-langit. “FREE WEST PAPUA” adalah sebuah tulisan yang besar di dinding sebelah kiri. Di ujung aula, terdapat sebuah meja kantor dengan bendera Bintang Kejora di dinding belakangnya. Alex mendekati meja itu dan menemukan sebuah berkas dengan judul, “Rancangan Undang-Undang Dasar Republik Papua Barat” dan ada berkas di sebelahnya dengan judul, “The Plans to Build The Embassy of The Republic of West Papua in Canberra” dan juga sebuah berkas berjudul, “Daftar Donatur untuk Kemerdekaan Republik Papua Barat.”

 

“Hey, temen-temen! Gue nemu sesuatu!” kata Alex pelan, agar tak terdengar orang lain selain teman-temannya.

“Apaan, Al?” tanya Rony.

“Berkas-berkas ini.” kata Alex menunjuk berkas-berkas itu, “Ini cukup untuk kita ngebuktiin ke BIN kalau kita bener, ada pihak asing di dalem OPM, dan itu Australia.”

“Masukin tas cepet!” kata Rony mendesak, “Bacanya nanti aja.”

“Ya. Lo bener.” kata Alex yang tadi hendak membaca isi berkas itu dan memasukkannya ke dalam tas.Tiba-tiba terdengar suara teriakan Sandra di sebuah ruangan.

“Apa itu?” tanya Rony panik.

“Sandra! Kamu di mana?!” teriak Alex ikut panik.

BAAAM!!! Pintu terdobrak oleh si Bule itu dan mengangkat senjatanya.

“Hold right there! Freeze!!!” teriak si Bule.

“Apa dia bilang?” tanya Rony kepada Alex. Rony tidak bisa bahasa Inggris.

“Lari!!!” teriak Alex. Namun Rony menarik busur panahnya, dan melepas anak panah itu ke arah si Bule, namun meleset.

“Al! lo cari Sandra, gue cari Nadia! Cepet lari!!!” teriak Rony.

 

DOR… DOR… DOR!!! Rentetan senapan pun meletus dan mengarah ke segala arah, namun Alex dan Rony bisa menghindar. Alex benar-benar panik dan khawatir dengan keadaan Sandra.

 

“Sandra! Kamu di mana?!” teriak Alex.

“Alex, Aku di sini!!!” terdengar teriakan dari Sandra di suatu ruangan, “Kakiku kejepit kayu! Lantainya lapuk dan runtuh!”

“Aku datang, Sandra!” kata Alex seraya berlari mengikuti suara Sandra dan mengangkat Belatinya.

“Darius, panggil Yohannes, Louis Dan Titus! Kepung mereka!” terdengar teriakan si Bule dengan aksen Inggrisnya.

“Baik, Kapten Kyle! Yohannes, ada penyusup!!” terdengar lagi ada teriakan dari seseorang, mungkin Darius yang dimaksud si Bule, yang memanggil rekan-rekannya.

Alex semakin panik. Dia dan teman-temannya akan tertangkap oleh OPM.

 

Alex sampai di sebuah ruangan dan mendobrak pintunya dengan sekuat tenaga. Pintunya terbuka dengan keras, sampai pintunya roboh dan Alex terjatuh. Hati Alex mencelos. Alex melihat Sandra sedang dicekik oleh anggota OPM yang bertubuh besar. Orang itu menodongkan pistol ke pelipis Sandra. Alex mengangkat belatinya dan hendak menghunuskannya ke arah orang itu.

“Jatuhkan itu kau punya Belati!” kata orang itu dengan keras.

“Jangan sentuh Adik saya!” kata Alex putus asa.

“Cantik sekali Adikmu ini.” kata orang itu seraya menyeringai, “Terlalu cantik untuk aku bunuh.”

 

“Alex!!!” teriak Sandra ketakutan.

“Ssstttt! Diam Kakak Cantik!” kata orang itu mengancam.

DOR.. DOR… Aaarrggh!!! Terdengar rentetan tembakan senapan dari luar dan teriakan seseorang. Itu suara Rony dan Nadia.

“Rony!!!” teriak Sandra.

“Nadia!!!” Alex pun ikut berteriak.

 

 

 

 

                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERIHAL DATANG UNTUK PERGI.

  Karya : Putri Handayani Sinaga   Haiii kenalin aku putri,Ini di mulai dari pada saat aku masuk SMA ya sekolah menengah atas. Pada awal...